Menghadapi trauma dan permasalahnya

Table of Contents

Ilustrasi: Menghadapi trauma dan permasalahnya

Joernalists, Oleh AdinJava -
Mengalami langsung peristiwa traumatis seperti bencana alam, kecelakaan besar, atau konflik sosial dapat menyebabkan gangguan psikologis yang signifikan, seperti kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD). 

Reaksi emosional seperti kesedihan mendalam, ketakutan, bahkan rasa bersalah sering muncul, dan semua itu sebenarnya merupakan respon normal terhadap situasi yang tidak normal.

Namun, tidak hanya penyintas langsung yang terdampak. Di era digital saat ini, paparan terhadap konten-konten traumatis baik melalui televisi, media sosial, atau portal berita dapat memicu efek psikologis serupa pada masyarakat luas. 

Hal ini diperkuat oleh berbagai penelitian, terutama setelah tragedi besar seperti serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.


Dampak Trauma Tak Langsung: Ketika Berita Jadi Luka Baru

Menurut studi dari Dart Center for Journalism and Trauma, tayangan dan liputan media yang berisi konten tragis atau mengganggu dapat memicu atau memperparah stres psikologis, bahkan pada mereka yang tidak mengalami kejadian tersebut secara langsung. Berikut beberapa temuan penting dari berbagai penelitian:

  • Pada orang dewasa yang mengalami langsung peristiwa traumatis, paparan berita yang intens dikaitkan dengan peningkatan risiko PTSD dan depresi.

  • Pada orang dewasa yang tidak berada di lokasi kejadian, paparan berulang terhadap gambar atau narasi tragedi dapat menimbulkan kecemasan dan stres akut.

  • Anak-anak yang menyaksikan berita tragis, terutama tanpa pendampingan atau penjelasan dari orang dewasa, lebih rentan mengalami reaksi psikologis yang mendalam.

  • Penayangan berulang klip dramatis seperti gedung WTC yang ditabrak pesawat atau gelombang tsunami di Aceh, terbukti memperkuat efek trauma pada masyarakat.


Peran Media dalam Menanggulangi atau Memperparah Trauma

Media massa memegang peran ganda dalam bencana: dapat menjadi alat penyembuh atau justru memperburuk luka kolektif. Dalam peliputan peristiwa traumatis, media harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, bukan sekadar mengejar sensasionalisme.

Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan media untuk mendukung pemulihan psikologis:

  1. Memberikan Informasi yang Akurat dan Bertanggung Jawab
    Informasi yang disampaikan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap korban dan masyarakat luas. Judul bombastis dan narasi yang menakutkan hanya akan menambah beban psikologis.

  2. Mengedukasi Masyarakat Tentang Pemulihan
    Media dapat berkontribusi pada proses penyembuhan dengan menampilkan kisah inspiratif para penyintas, tips menjaga kesehatan mental, dan cara kembali pada rutinitas harian.

  3. Mempromosikan Ketahanan dan Kesiapsiagaan Komunitas
    Media bisa memperkuat kapasitas masyarakat menghadapi bencana dengan memberikan edukasi soal mitigasi, prosedur evakuasi, serta informasi tentang akses bantuan psikologis.

  4. Menjadi Jembatan Psikoedukasi
    Liputan seharusnya memberi ruang untuk memperkenalkan kepada masyarakat apa itu trauma, bagaimana gejalanya, dan ke mana harus mencari pertolongan.


Pendampingan yang Sensitif: Media & Jurnalis Perlu Hati-Hati

Bayangkan seorang jurnalis bertanya secara mendalam kepada korban gempa yang baru saja kehilangan anaknya. Tanpa kepekaan dan empati, pertanyaan tersebut bukan hanya tak pantas, tapi juga dapat memperparah luka batin yang sedang menganga.

Menurut International Federation of Journalists (IFJ) dan Dart Center, jurnalis sebaiknya:

  • Menghindari wawancara pada fase akut trauma (24–72 jam pertama pascakejadian).

  • Mengedepankan persetujuan dan kenyamanan narasumber.

  • Menghindari eksploitasi visual berlebihan dari tragedi (gambar mayat, tangisan ekstrem, kerusakan besar).


Saat Media Jadi Pilar Pemulihan

Trauma adalah luka yang tak terlihat. Dalam dunia yang terus terkoneksi dan cepat memberitakan apa pun, media memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya menyampaikan, tapi juga menyembuhkan. 

Dalam peliputan peristiwa traumatis, jurnalis dan media dituntut untuk tidak sekadar “memberitakan”, tapi hadir sebagai bagian dari solusi dan pemulihan psikososial masyarakat.

Sebagaimana dikatakan oleh ahli psikologi trauma Dr. Judith Herman, “Pemulihan dari trauma hanya mungkin terjadi dalam konteks hubungan yang aman.” Maka, mari kita pastikan bahwa narasi-narasi di media menjadi ruang aman—bukan pemicu luka baru.

2 komentar

Comment Author Avatar
11:44:00 PM Delete
salam sahabat
soal ini saya tidak begiru paham jurnalistik he..he..namun dari alur cerita postingannya saya dapat menangkap bahwa tiap tiap peristiwa yang terjadi merupakan hal yang wajar namun bila tidak bisa diterima dan menyikapinya dengan benar maka akan menjadi hal yang membuat sesuatu ketergantungan dalam arti sebuah peristiwa yang mengakibatkan tidak merehab dengan baik gitu nah selanjuatnya dapat kita katakan bahwa dengan peristiwa ini merupakan proses belajar mengunyah sebuah kenyataan yang ada..loh kepanjangan mas Din he..he..ga papa kan nyambung ga ya....good luck
Comment Author Avatar
11:48:00 PM Delete
he he tanks berat sahabat ku diujung china sana DIANA (dhana)tanks atas komentnya cukup panjang juga...ehm ..