Mengungsi atau Bertahan? Psikologi di Balik Pilihan Warga Tinggal di Bantaran Sungai Ciliwung
Ilustrasi: di Balik Pilihan Warga Tinggal di Bantaran Sungai Ciliwung
Joernalists, Oleh AdinJava - Tinggal di bantaran Sungai Ciliwung menyimpan risiko tinggi, terutama terkait bencana banjir yang rutin melanda wilayah tersebut.
Namun kenyataannya, masih banyak warga yang memilih untuk tetap tinggal meski ancaman banjir terus membayangi. Mengapa demikian?
Faktor utama yang memengaruhi keputusan tersebut bukan hanya soal ekonomi atau keterbatasan tempat tinggal, tetapi juga menyangkut persepsi terhadap risiko dan karakter psikologis individu, khususnya apa yang dikenal sebagai locus of control (LOC).
Menurut Rotter (1966), LOC menggambarkan kecenderungan seseorang untuk memandang kejadian dalam hidupnya sebagai sesuatu yang berada dalam kendalinya sendiri (internal) atau di luar kendalinya, seperti nasib atau pengaruh orang lain (external).
Teori ini kemudian diperkuat dalam konteks bencana oleh Vazquez & Marvan (2003) dan Finnis (2004), yang menunjukkan bahwa persepsi risiko sangat dipengaruhi oleh keyakinan individu mengenai kontrol atas hidup mereka.
Dalam sebuah studi terhadap 300 warga DKI Jakarta yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, dilakukan survei dengan teknik clustering random sampling. Hasilnya:
-
86,5% responden menyadari bahwa banjir merupakan risiko tinggi bagi hidup mereka.
-
Perempuan memiliki persepsi risiko lebih tinggi dibanding pria.
-
Usia muda menunjukkan tingkat persepsi risiko lebih tinggi dibanding usia tua.
Namun menariknya, sebagian besar responden menunjukkan karakteristik LOC internal:
-
98,3% percaya bahwa hidup mereka berada dalam kendali pribadi.
-
66,3% juga percaya bahwa nasib dan keberuntungan turut berperan dalam hidup mereka.
-
Hanya 25,6% yang menganggap hidup mereka dikendalikan oleh pihak berkuasa seperti pemerintah atau atasan.
Meski mayoritas memiliki LOC internal, penjelasan risiko banjir masih didominasi oleh faktor eksternal seperti keberuntungan (37,3%).
Ini menunjukkan adanya dualitas dalam cara warga menjelaskan bencana: mereka sadar akan bahaya, merasa bertanggung jawab atas hidupnya, namun tetap melihat bencana sebagai takdir yang tak terelakkan.
Lebih lanjut, penelitian ini menyimpulkan bahwa LOC saja tidak cukup untuk menjelaskan persepsi risiko banjir secara utuh. Faktor lain seperti karakteristik bencana, pengalaman langsung terhadap kerugian, serta pengaruh lingkungan sosial dan budaya juga memainkan peran penting.
Konteks Sosial dan Relokasi: Realitas yang Kompleks
Fakta bahwa warga tetap memilih tinggal di daerah rawan banjir juga dipengaruhi oleh ikatan sosial, lokasi yang strategis untuk mencari nafkah, dan persepsi bahwa relokasi tidak menawarkan kondisi hidup yang lebih baik.
Menurut penelitian dari The Conversation Indonesia (2020) dan laporan WALHI (2022), banyak program relokasi pemerintah gagal karena tidak mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi warga.
Akibatnya, meskipun secara fisik lebih aman, warga yang direlokasi sering kali kembali ke bantaran sungai karena akses pekerjaan dan jaringan sosialnya lebih kuat di sana.
Membangun Ketahanan dengan Memahami Psikologi Masyarakat
Untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana, pendekatan yang digunakan tidak bisa hanya fisik dan struktural.
Pendekatan psikososial dan edukasi risiko perlu ditingkatkan agar persepsi risiko warga tidak hanya bergantung pada keberuntungan atau takdir, tetapi juga pada upaya kolektif dan kesadaran individu.
Pemerintah pun perlu merancang kebijakan relokasi atau mitigasi yang tidak hanya melihat warga sebagai objek, tapi sebagai subjek yang memiliki persepsi, pilihan, dan hak atas kehidupan yang layak.
Posting Komentar